Sunday, December 4, 2016

Perjalanan cinta Ali bin Abi Tholib dengan Fatimah Az Zahro

kangsapak.com sholawat nabi


Ali bin Abi Tholib Karomahullohu Wajhah dia adalah khalifah pertama dari kalangan Bani Hasyim. Ayahnya adalah Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf, dan ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdu Manaf.

Ali dilahirkan di dalam Ka'bah dan mempunyai nama kecil Haidarah. Untuk meringankan beban Abu Thalib yang mempunyai anak banyak, Rasulullah SAW merawat Ali. Selanjutnya Ali tinggal bersama Rasulullah di rumahnya dan mendapatkan pengajaran langsung dari beliau. Ia baru menginjak usia sepuluh tahun ketika Rasulullah menerima wahyu yang pertama.

Sejak kecil Ali telah menunjukkan pemikirannya yang kritis dan brilian. Kesederhanaan, kerendah hatian, ketenangan dan kecerdasannya yang bersumber dari Al-Qur'an dan wawasan yang luas, membuatnya menempati posisi istimewa di antara para sahabat Rasulullah SAW lainnya. Kedekatan Ali dengan keluarga Rasulullah SAW kian erat, ketika ia menikahi Fathimah, anak perempuan Rasulullah yang paling bungsu.

Ketika berusia 6 tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Rosululloh S.A.W sebagaimana Nabi S.A.W pernah diasuh oleh ayahnya. Pada waktu Muhammad S.A.W diangkat menjadi rasul, Ali baru menginjak usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam, setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Sejak itu ia selalu bersama Rasulullah S.A.W taat kepadanya dan banyak menyaksikan Rasulullah S.A.W menerima wahyu. Sebagai anak asuh Rasulullah S.A.W, ia banyak menimba ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoretis dan praktis.

Ali sudah menyukai Fatimah Az Zahro sejak lama, selain kecantikan fisik, Ali jatuh hati pada kecantikan ruhaniah Fatimah yang melintasi batas hingga langit ke tujuh. Kendalanya adalah perasaan rendah hati, mampukah Beliau membahagiakan Fatimah dengan keadaannya yang serba terbatas.

Kisah perjalanan cinta Ali bin Abi Tholib dengan Fatimah Az Zahro adalah kisah cinta sejati, cinta yang diridloi Alloh S.W.T didunia dan diakherat, cinta yang paling romantis didunia ini mengalahkan cerita romeo dan juliet yang dibesar-besarkan dalam karya sastra. Sangat menarik untuk kita angkat kisah beliau disini, semoga kisahnya bisa menginspirasi dan semangat hidup rumah tangga kita.

Inilah sebagian kisah perjalanan cinta Ali bin Abi Tholib dengan Fatimah Az Zahro:

Dipendamkan di dalam hatinya, yang tidak diceritakan kepada siapapun tentang perasaan hatinya. Tertarik dirinya seorang gadis, yang punya peribadi tinggi, paras yang cantik, kecekalan yang kuat, apalah lagi ibadahnya, hasil didikan ayahnya yang dicintai oleh umat manusia, yakni Rasulullah S.A.W. Itulah Fatimah Az- Zahrah, puteri kesayangan Nabi Muhammad S.A.W, serikandi berperibadi mulia. Dia sedar, dirinya tidak punya apa-apa, untuk meminang puteri Rasulullah.

Hanya usaha dengan bekerja supaya dapat merealisasikan cintanya. Itulah Sayyidina Ali bin Abi Tholib Karomallohu Wajhah, sepupu baginda sendiri.

Sehingga beliau tersentap, mendengar perkhabaran bahwa sahabat mulia nabi, Abu Bakar As-Siddiq, melamar Fatimah.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin Ali. Ia merasa diuji kerana merasa apalah dia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi?

Abu Bakar lebih utama, mungkin dia bukan kerabat dekat Nabi seperti Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.

Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.

Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar, Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, Abdullah ibn Mas’ud. Dan siapa budak yang dibebaskan Ali?

Dari segi keuangan, Abu Bakar sang saudagar, Insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah. Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Ali.

”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Namun, sinar masih ada buatnya. Kabar diterima bahwa pinangan Abu Bakar ditolak baik oleh Nabi. Ini menaikkan semangat beliau untuk berusaha mempersiapkan diri.

Tapi, ujian itu bukan sampai disitu, kali ini perkhabaran lain diterima olehnya. Umar Al-Khatab, seorang sahabat gagah perkasa, mengendurkan musuh islam dan dia pula coba meminang Fatimah.

Seorang lelaki yang terang-terangan mengumumkan keislamannya yang nyata membuatkan muslimin dan muslimat ketika itu yang sedang dilanda ketakutan oleh tentangan kafir quraisy mula berani mendongakan muka, seorang lelaki yang membuatkan syaitan berlari ketakutan.

Ya, Al Faruq sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi S.A.W berkata ”Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar”.

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul di sisi ayah Fathimah. Ali ridha karena dia tahu Umar lebih layak darinya. Tetapi sekali lagi peluang terbuka, tatkala kabar diterimanya, bahwa pinangan Umar juga ditolak. Bagaimanakah sebenarnya menantu pilihan nabi, sedangkan dua sahabat baginda turut ditolak pinangannya?

Pada suatu hari Abu Bakar As-Shiddiq ra Umar Ibnul Khatab ra dan Sa’ad bin Mu’adz bersama-sama Rasul Allah SAW duduk dalam masjid. Pada kesempatan itu diperbincangkan antara lain persoalan puteri Rasul Allah S.A.W Saat itu baginda bertanya kepada Abu Bakar As-Shiddiq ra.

“Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi Thalib?”

Abu Bakar As-Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak untuk
menghubungi Ali r.a Sewaktu Ali r.a melihat datangnya Abu Bakar As- Shiddiq r.a dengan tergopoh-gopoh dan terperanjat ia menyambutnya kemudian bertanya:

“Anda datang membawa berita apa?”

Setelah duduk beristirahat sejenak Abu Bakar As-Shiddiq r.a segera menjelaskan persoalannya:

“Hai Ali engkau adalah orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai keutamaan lebih
dibanding dengan orang lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian pula engkau adalah kerabat Rasul Allah S.A.W Beberapa orang sahabat terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada baginda untuk mempersunting puteri beliau. Lamaran itu telah beliau semua tolak. Beliau mengemukakan bahwa persoalan puterinya diserahkan kepada Allah s.w.t. Akan tetapi hai Ali apa sebab hingga sekarang engkau belum pernah menyebut-nyebut puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar untuk dirimu sendiri? Kuharap semoga Allah dan RasulNya akan menahan puteri itu untukmu.”

Mendengar perkataan Abu Bakar r.a mata Saidina Ali r.a. berlinang air mata. Menanggapi kata-kata itu, Ali r.a berkata:

“Hai Abu Bakar, anda telah membuatkan hatiku bergoncang yang semulanya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah aku memang menghendaki Fatimah tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah karena aku tidak mempunyai apa-apa.”

Abu Bakar r.a terharu mendengar
jawapan Ali itu. Untuk membesarkan dan menguatkan hati Imam Ali r.a.

Abu Bakar r.a berkata: “Hai Ali, janganlah engkau berkata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan belaka!”

Setelah berlangsung dialog seperlunya Abu Bakar r.a berhasil mendorong keberanian Imam Ali r.a untuk melamar puteri Rasul Allah S.A.W.

Beberapa waktu kemudian Sayyidina Ali r.a datang menghadap Rasul Allah S.A.W yg ketika itu sedang berada di tempat kediaman Ummu Salmah.

Mendengar pintu diketuk orang, Ummu Salmah bertanya kepada Rasulullah S.A.W:
“Siapakah yg mengetuk pintu?”

Rasul Allah S.A.W menjawab:
“Bangunlah dan bukakan pintu baginya. Dia orang yang dicintai Allah dan RasulNya dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!”

Jawaban Nabi Muhammad S.A.W itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a Ia bertanya lagi: “Ya tetapi siapakah dia itu?”

“Dia saudaraku orang kesayanganku!”
jawab Nabi Muhammad S.A.W.

Tercantum dalam banyak riwayat bahwa Ummu Salmah di kemudian
hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Sayyidina Ali r.a kepada Nabi Muhammad S.A.W itu: Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu sampai kakiku terantuk-antuk. Setelah pintu kubuka ternyata orang yang datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia masuk kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah S.A.W Ia dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala seolah-olah mempunyai maksud tetapi malu hendak mengutarakannya.

Rasul Allah mendahului berkata: “Hai Ali nampaknya engkau mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yang ada dalam fikiranmu. Apa saja yang engkau perlukan akan kau peroleh dariku!”

Mendengar kata-kata Rasul Allah S.A.W yang demikian itu lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib untuk berkata: “Maafkanlah ya Rasul Allah Anda tentu ingat bahwa anda telah mengambil aku dari pamanmu Abu Thalib dan bibimu Fatimah binti Asad di kala aku masih kanak kanak dan belum mengerti apa apa. Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda ya Rasul Allah adalah tempat aku bernaung dan anda jugalah yang menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa aku ingin berumah tangga hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap untuk melamar puteri anda Fatimah. Ya Rasul Allah apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dengan Fatimah?”

Ummu Salmah melanjutkan kisahnya:
Saat itu kulihat wajah Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali apakah engkau mempunyai suatu bekal mas kawin?” .

“Demi Allah” jawab Ali bin Abi Thalib dengan terus terang “Anda sendiri mengetahui bagaimana keadaanku tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi sebilah pedang dan seekor unta.”

“Tentang pedangmu itu” kata Rasul Allah S.A.W menanggapi jawapan Ali bin Abi Thalib “engkau tetap memerlukannya untuk perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga perlu buat keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh kerana itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar mas kawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Hai Ali engkau wajib bergembira sebab Allah ‘Azza wa jalla sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!”

Demikian riwayat yang diceritakan Ummu Salmah r.a. Setelah segala-galanya siap dengan perasaan puas dan hati gembira dengan disaksikan oleh para sahabat Rasul Allah S.A.W mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: “Bahwasanya Allah S.W.T memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar mas kawin 400 dirham. Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu.”

“Ya Rasul Allah, itu kuterima dengan baik”
jawab Ali bin Abi Thalib r.a dalam pernikahan itu.

Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti Ali Ia mempersilahkan atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Puteri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan, bahwa suatu hari, Fathimah berkata kepada Ali:

“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”

‘Ali terkejut dan berkata, “Jikalau begitu, mengapakah engkau mau menikah denganku? Dan Siapakah pemuda itu”

Sambil tersenyum Fathimah berkata,
“Ya, pemuda itu adalah Dirimu”

Itulah sebagian kisahnya semoga dari kisahnya kita bisa mengambil manfaatnya untuk bekal perjalanan didunia ini guna menghadapi perjalanan panjang diakherat.

No comments:

Post a Comment